AMBON MALUKU METRO REPORTASE,COM-04 November 2025.Komisi II DPRD Provinsi Maluku menyampaikan aspirasi masyarakat Maluku kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Lotharia Latif, dalam pertemuan yang berlangsung pekan lalu di Jakarta.

Aspirasi tersebut menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah pusat yang dinilai merugikan daerah, khususnya sektor kelautan dan perikanan. Beberapa regulasi yang dipersoalkan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), serta Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alih Muat (Transhipment) yang diatur kembali dalam PP Nomor 61 Tahun 2009 dan PP Nomor 24 Tahun 2021.

Ketua Komisi II DPRD Maluku, Irawadi, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut berdampak signifikan bagi Maluku yang memiliki tiga wilayah pengelolaan perikanan, yakni WPP 714, WPP 715, dan WPP 718. Potensi ikan di ketiga wilayah itu mencapai sekitar 750 ribu ton per tahun, menjadikan Maluku sebagai salah satu lumbung ikan nasional.

Namun, menurut Irawadi, aturan alih muat di laut telah membuat pendapatan asli daerah (PAD) Maluku menurun drastis.

“Sebelumnya, pelabuhan perikanan di Samlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, yang dikelola Pemprov Maluku mampu menghasilkan sekitar Rp200 miliar per tahun. Sekarang tinggal sekitar Rp2 miliar. Karena alih muatnya kini dilakukan di laut, bukan lagi di pelabuhan. Akibatnya, daerah tidak memperoleh retribusi apa pun,” tegas Irawadi kepada wartawan di Gedung Rakyat, Karang Panjang, Ambon.

Ia menjelaskan, kebijakan alih muat di laut memungkinkan seluruh hasil tangkapan langsung dipindahkan ke kapal lain dan dibawa ke pelabuhan di luar Maluku seperti Makassar, Bitung, Bali, atau Jakarta tanpa proses bongkar di pelabuhan daerah.

“Kalau hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan Maluku dan dikenakan retribusi Rp20 ribu per kilogram, potensi penerimaan kita bisa mencapai Rp17 triliun per tahun. Tapi semua itu hilang karena aturan ini. Kita tidak butuh dana transfer dari pusat jika potensi kelautan ini dikelola penuh oleh daerah,” ujarnya.

Komisi II juga menyoroti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang membatasi kewenangan daerah dalam menarik pajak dan retribusi sektor perikanan.

“PAD kita jatuh, APBD tertekan. Ini akan menjadi bom waktu bagi pemerintah pusat karena daerah semakin kehilangan sumber pendapatan. Banyak fasilitas perikanan yang dibangun pemerintah kini tidak berfungsi optimal karena alih muatnya tidak lagi di darat,” tambahnya.

Irawadi meminta pemerintah pusat segera mencabut Permenhub Nomor 28 Tahun 2022 dan mengembalikan sistem alih muat seperti sebelumnya, di mana hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan perikanan daerah.

“Kalau ini tidak segera dicabut, maka pemerintah pusat harus siap menghadapi dampak ekonomi besar di daerah. Maluku akan semakin sulit membiayai pelayanan publik dan pembangunan,” tegasnya.

Menanggapi aspirasi yang disampaikan, pihak KKP melalui Dirjen Perikanan Tangkap, Lotharia Latif, menyebut bahwa peraturan tersebut diterbitkan atas usulan dari “wilayah timur”. Namun, Irawadi menegaskan bahwa Maluku tidak pernah mengusulkan kebijakan itu.

“Alasan mereka soal ikan cepat membusuk jika didaratkan juga tidak masuk akal. Teknologi perikanan kita sudah maju, ikan bisa diawetkan tanpa rusak. Jadi alasan itu hanya pembenaran yang menguntungkan pengusaha,” ujarnya.

Ia menilai, kebijakan alih muat di laut lebih menguntungkan pengusaha besar dan merugikan masyarakat serta pemerintah daerah.

“Aturan ini dibuat untuk kepentingan pengusaha, bukan rakyat. Kami tegas menyampaikan itu ke Kementerian. Maluku dirugikan besar. Kami minta segera dievaluasi dan dicabut,” pungkas Irawadi.

Ongen Metro Reportase