Ambon, metro reportase,com Maluku – Di tengah geger penemuan PT Dok Wayame dan PT Dok Pasific yang diduga mengabaikan pengelolaan limbah B3, borok lain dalam sistem pengawasan lingkungan di Maluku mulai terkuak. Dugaan kuat mengemuka bahwa Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Maluku, alih-alih menjadi garda terdepan perlindungan lingkungan, justru terindikasi menjadi “ladang bisnis” bagi konsultan dan Sekretariat Komisi Penilai Amdal (KPA). Dokumen lingkungan yang seharusnya menjadi instrumen vital dalam memastikan keberlanjutan, terkesan hanya menjadi formalitas administrasi belaka, jauh dari esensi pemenuhan regulasi.
Dokumen Lingkungan: Antara Kewajiban dan Praktik Akal-Akalan
Dalam teori, setiap pelaku usaha diwajibkan memiliki dokumen lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL). Dokumen-dokumen ini dirancang untuk mengidentifikasi potensi dampak lingkungan dari suatu proyek dan merumuskan langkah-langkah mitigasinya. Namun, di lapangan, praktik yang terjadi seringkali jauh panggang dari api.
Modus operandi yang disinyalir adalah sebagai berikut: konsultan lingkungan yang ditunjuk oleh pelaku usaha – dan seringkali memiliki “kedekatan” dengan oknum di DLH atau Sekretariat KPA – menyusun dokumen yang terkadang tidak realistis atau sekadar salin tempel (copy-paste) dari proyek lain. Proses penilaian di Sekretariat KPA pun terkesan berjalan mulus, sekadar menggugurkan kewajiban administratif tanpa telaah mendalam. Akibatnya, pelaku usaha hanya berfokus pada “lolosnya” dokumen tanpa sungguh-sungguh menerapkan isi dokumen tersebut di lapangan.
Biaya untuk penyusunan dokumen dan “pelicin” agar dokumen cepat disetujui ditaksir mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per proyek, tergantung skala usahanya. Uang ini diduga mengalir ke kantong-kantong tertentu, menjadikan proses perizinan lingkungan sebagai sumber pendapatan ilegal bagi sebagian pihak, alih-alih sebagai mekanisme perlindungan lingkungan.
Korelasi dengan Eksploitasi Batu Kapur PT Batu Licin di Maluku Tenggara
Praktik culas ini memiliki korelasi kuat dengan berbagai persoalan lingkungan yang muncul belakangan ini. Ambil contoh kasus eksploitasi batu kapur di Kabupaten Maluku Tenggara oleh PT Batu Licin. Berita terbaru menunjukkan bahwa perusahaan ini diduga mengabaikan ketentuan tentang pengelolaan pulau-pulau kecil dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat.
Pulau-pulau kecil di Maluku Tenggara memiliki ekosistem yang sangat rapuh dan vital bagi keberlanjutan perikanan serta pariwisata. Aktivitas penambangan batu kapur tanpa kajian lingkungan yang benar dan implementasi mitigasi yang ketat akan menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat diperbaiki, termasuk abrasi, hilangnya habitat biota laut, dan perubahan bentang alam yang permanen.
Jika dokumen lingkungan PT Batu Licin “lolos” dengan mudah di DLH tanpa telaah mendalam, maka ini mengindikasikan kegagalan sistematis. Dokumen tersebut, yang seharusnya menjadi benteng pertahanan ekologis, malah menjadi legitimasi bagi perusakan lingkungan. Ini memperparah kekhawatiran bahwa:
Dampak Lingkungan Tidak Teridentifikasi Akurat: Jika penyusunan dokumen hanya formalitas, potensi dampak sebenarnya tidak akan terungkap atau justru diremehkan.
Mitigasi Palsu: Rencana mitigasi yang termuat dalam dokumen tidak akan efektif karena tidak didasarkan pada kondisi riil atau tidak pernah diterapkan.
Pengabaian Regulasi Sektoral: Dengan mudahnya dokumen lingkungan disetujui, perusahaan merasa aman untuk mengabaikan regulasi lain seperti RTRW atau UU Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, karena “lampu hijau” dari DLH sudah didapat.
Desakan untuk Gubernur: Audit Menyeluruh dan Berantas Mafia Dokumen Lingkungan!
Kasus-kasus seperti PT Dok Wayame, PT Dok Pasific, dan PT Batu Licin adalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar. Ini bukan sekadar kelalaian individu perusahaan, melainkan indikasi kuat adanya sistem yang korup dalam tata kelola lingkungan di Maluku.
Sudah sewajarnya Gubernur Maluku untuk segera:
- Melakukan Audit Menyeluruh Terhadap DLH dan Sekretariat KPA: Audit ini harus mencakup evaluasi proses penerbitan semua dokumen lingkungan, keterlibatan konsultan, dan potensi konflik kepentingan.
- Memperkuat Integritas dan Kapasitas Penilai Amdal: Pastikan tim penilai adalah individu yang kompeten, independen, dan berintegritas tinggi, bukan sekadar pelengkap formalitas.
- Memberantas Praktik Pungli dan Akal-Akalan Dokumen Lingkungan: Libatkan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan praktik korupsi dan kolusi yang menjadikan dokumen lingkungan sebagai ladang bisnis.
- Menegakkan Sanksi Tegas: Berikan sanksi berat, baik administratif maupun pidana, kepada perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan lingkungan dan oknum di DLH atau KPA yang terlibat dalam praktik culas ini.
- Meningkatkan Transparansi: Publikasikan semua dokumen lingkungan yang telah disetujui dan hasil pemantauan di lapangan agar masyarakat dapat ikut mengawasi.
Jika praktik ini terus dibiarkan, maka kekayaan alam Maluku yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi mendatang akan hancur dikeruk atas nama pembangunan yang semu. Gubernur harus bertindak cepat dan tegas untuk membersihkan birokrasi dan memastikan bahwa perlindungan lingkungan menjadi prioritas utama, bukan sekadar slogan atau ladang bisnis. Sudah saatnya sistem yang bobrok ini dirobohkan demi masa depan lingkungan Maluku yang lebih baik.
Leano