Ambon Metro Reportase.com — 24/11/2025.
Anggota DPRD Provinsi Maluku, Wahid Laitupa, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh Jazirah Leihitu, menegaskan pentingnya menjaga kearifan sejarah, stabilitas wilayah, serta penghormatan terhadap para pendiri organisasi adat di Pulau Ambon, khususnya yang berkaitan dengan keberadaan Henna Hettu. Hal ini disampaikannya menanggapi dinamika internal dan polemik yang belakangan muncul di tubuh organisasi tersebut.
Laitupa menyatakan bahwa kegiatan yang digelar di Hotel Santika beberapa waktu lalu merupakan hak setiap kelompok untuk mendirikan organisasi, karena ruang tersebut dijamin oleh ketentuan perundang-undangan. Meski demikian, ia menyesalkan perlakuan yang terjadi terhadap Henna Itu, yang dinilai tidak mencerminkan penghargaan terhadap sejarah dan para tokoh pendiri organisasi tersebut.
Ia menegaskan bahwa Henna Hettu dibentuk oleh para tokoh Jazirah, termasuk para raja dari sejumlah negeri di wilayah itu, dengan tujuan utama menjaga stabilitas di Pulau Ambon. Karena itu, menurutnya, setiap persoalan internal seharusnya diselesaikan melalui dialog dan musyawarah yang melibatkan para pendiri serta tokoh adat.
“Kalau ada masalah dalam kepemimpinan saat ini, maka pemimpin yang dinilai tidak layak harus dipanggil, diajak duduk bersama, lalu diputuskan melalui mekanisme yang benar, seperti musyawarah besar atau musyawarah luar biasa,” ujarnya.
Laitupa juga menyinggung sejarah dualisme kepemimpinan yang sempat terjadi di tubuh Henna Hettu. Beruntung, kata dia, rekonsiliasi telah dilakukan beberapa bulan lalu dan kedua pihak sepakat kembali pada satu kepemimpinan. Karena itu, evaluasi terhadap kinerja pemimpin setelah rekonsiliasi dianggap wajar dilakukan dengan melibatkan para raja di Jazirah.
Ia juga menyoroti upaya mendirikan organisasi baru atau mengganti nama organisasi yang dikaitkan dengan struktur adat tertentu. Menurutnya, langkah tersebut keliru dan dapat menimbulkan persepsi terbentuknya organisasi tandingan, yang pada akhirnya berdampak pada stabilitas sosial di wilayah Jazirah Leihitu.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa dalam tradisi pemerintahan adat di Maluku, pengesahan organisasi adat berada di tangan Gubernur sebagai pemimpin tertinggi dan representasi negara di wilayah adat. Gubernur memiliki legitimasi formal untuk mengesahkan organisasi melalui Surat Keputusan (SK), sebagaimana telah menjadi praktik dalam pengakuan berbagai lembaga adat di Maluku.
“Siapapun boleh mendirikan organisasi, tetapi jika ingin diakui sebagai lembaga adat di Maluku, maka wajib ada SK Gubernur. Itu hukum adat dan hukum administrasi yang berjalan di sini,” tegasnya.
Wahid Laitupa berharap seluruh pihak dapat menahan diri, mengedepankan musyawarah, serta terus menjaga nilai-nilai persatuan yang selama ini menjadi identitas masyarakat Jazirah Leihitu.
Ongen Metro Reportase