Ambon, Maluku Metro Reportase,com 12/09/2025– Di balik gemerlap lampu kompleks Paparisa Karaoke di Jalan Ir. Putuhena, Wayame, Teluk Ambon, sebuah bom waktu lingkungan tengah disiapkan. Investigasi mendalam tim metro reportase menemukan dugaan kegiatan pengolahan (penimbunan) limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berupa oli bekas oleh PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA), sebuah perusahaan yang berbasis di Surabaya. Parahnya, kegiatan ini telah berlangsung lebih dari setahun tanpa dokumen lingkungan yang sah. Temuan ini tidak hanya mencoreng nama perusahaan, tetapi juga mengungkap kelalaian serius dari Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan (DLHP) Kota Ambon serta keengganan pihak berwenang lainnya untuk bertindak.

PT PRIA: Izin Pusat Tak Berarti Apa-apa Tanpa Dokumen Lokal
PT PRIA, melalui penanggung jawabnya di Ambon, Bapak Yahya, mengklaim memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dari pemerintah pusat untuk pengolahan limbah B3. Namun, klaim ini menyesatkan jika digunakan sebagai alasan untuk mengabaikan perizinan di tingkat lokal.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan pembangunan, termasuk pembangunan depo pengumpulan limbah B3, wajib memiliki dokumen lingkungan (UKL-UPL atau Amdal) yang disetujui oleh pemerintah daerah setempat. Meskipun sebuah perusahaan memiliki izin operasional dari pusat, pembangunan fisik di suatu daerah tetap harus melalui kajian lingkungan untuk memastikan kegiatan tersebut tidak merusak lingkungan sekitar. Hal ini karena Dokumen lingkungan seperti AMDAL atau UKL-UPL dan izin pengelolaan limbah B3 adalah spesifik untuk lokasi fasilitas, sehingga ketika sebuah pelaku usaha membangun di provinsi baru, pelaku usaha itu perlu mengurus izin untuk lokasi baru tersebut. Tanpa dokumen lingkungan yang disetujui DLHP Kota Ambon, kegiatan PT PRIA di Wayame adalah ilegal.
Aktivitas penimbunan dan pengolahan oli bekas sangat berisiko. Oli bekas mengandung logam berat dan zat karsinogenik yang dapat mencemari tanah dan air tanah. Tanpa fasilitas penyimpanan yang memadai dan kajian lingkungan yang tepat, limbah ini berpotensi merusak ekosistem Teluk Ambon dan membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.

DLHP Kota Ambon: Kolaborasi Buta dan Kelalaian Fatal
Ironisnya, DLHP Kota Ambon bukan hanya abai, melainkan justru berperan dalam memfasilitasi kegiatan ilegal ini. Berdasarkan pengakuan Yahya, DLHP Kota Ambon telah menggandeng PT PRIA untuk mengumpulkan oli bekas dari kurang lebih 200 bengkel di Kota Ambon. Namun, kolaborasi ini terkesan “buta” karena DLHP Kota lalai mendorong PT PRIA untuk memenuhi kewajiban penyusunan standar teknis pengumpulan limbah B3 sesuai PP 22/2021.

Kelalaian DLHP Kota Ambon dalam memastikan PT PRIA memiliki dokumen lingkungan dan standar teknis yang sesuai merupakan pelanggaran serius terhadap tugas dan wewenang mereka. Yahya sendiri mengakui bahwa dari 200 bengkel yang dikenalkan DLHP, hanya 18 yang limbahnya berhasil dikumpulkan PT PRIA. Sisa oli dari bengkel lain, menurut Yahya, sudah dijual kepada pihak lain.

Di sinilah tanggung jawab DLHP Kota Ambon kembali dipertanyakan. Sebagai otoritas yang seharusnya mengawasi, DLHP wajib melacak kemana ribuan liter oli bekas dari ratusan bengkel itu raib. Keberadaan “pihak lain” yang membeli limbah B3 ini tanpa prosedur yang jelas menunjukkan adanya pasar gelap yang sangat berbahaya. DLHP tidak boleh lepas tangan dan harus proaktif untuk memutus mata rantai ilegal ini, mengingat potensi pencemaran yang tak terkendali.

Pola Berulang: Abainya Pemerintah dan Legislatif
Kasus PT PRIA ini bukanlah anomali. Ini adalah pola berulang yang menunjukkan kelemahan sistematis dalam pengawasan lingkungan di Maluku. Kasus sebelumnya, seperti PT Dok Wayame dan PT Dok Pasifik yang beroperasi tanpa TPS Limbah B3, memiliki kesamaan fatal: mereka beroperasi lama tanpa memenuhi tanggung jawab lingkungan, dan pihak berwenang, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota, terkesan enggan atau lamban dalam melakukan evaluasi. Bahkan, DPRD sebagai lembaga pengawas juga abai dalam menjalankan fungsinya.

Pertanyaannya, apakah harus terjadi bencana limbah B3 terlebih dahulu baru ada tindakan evaluasi dan pengawasan oleh semua pemangku kepentingan? Kelambanan ini menunjukkan adanya mens rea (niat jahat) yang disengaja. Para pelaku usaha ini, secara sadar, menghindari kewajiban dan tanggung jawab lingkungannya sebagai konsekuensi dari persetujuan lingkungan yang seharusnya mereka peroleh. Mereka tahu risikonya, namun memilih untuk mengabaikannya demi keuntungan.
Dalam konteks hukum, meskipun regulasi lingkungan hidup saat ini lebih mengutamakan aspek ultimum remedium (hukum pidana sebagai upaya terakhir), kejahatan lingkungan yang dilakukan dengan sengaja dan berpotensi merusak secara luas, seharusnya tidak bisa ditoleransi. Kepolisian dan Kejaksaan seharusnya bisa mempidanakan para pelaku usaha nakal ini, sebab mens rea (niat jahat) mereka sudah sangat jelas.

Tanpa tindakan tegas dan proaktif dari semua pihak – Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, DPRD, dan aparat penegak hukum – Teluk Ambon akan terus terancam oleh bom-bom waktu lingkungan yang semakin banyak.

TimMetro