Metro Repirtase, ambon – Kepala Lapas (Kalapas) Perempuan Kelas III Ambon, Fifi Frida, bakal berurusan dengan hukum. Fifi Firda disomasi oleh salah satu pegawainya berinisial N melalui kuasa hukumnya, Falky Parera.
Tindakan ini diambil setelah Fifi Firda menahan surat penghadapan Pegawai N yang telah dimutasikan ke Rumah Tahanan Negara Kelas I Cipinang, berdasarkan SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nomor HH-60.KP.04.01 Tahun 2024 pada 6 Mei 2024 lalu.
Akibat tindakan Kalapas ini, N akhirnya tidak dapat menjalankan tugas di tempatnya yang baru, karena tidak menerima surat untuk menghadap ke Rutan Kelas Cipinang.
“Sudah dilayangkan surat somasi kepada Kalapas Perempuan Kelas III Ambon, karena surat penghadapan masih ditahan Kalapas, ” kata, Falky Parera, kepada Metro Repirtase di Ambon, selasa (25/6/2-24).
Parera berpendapat, ditahannya dokumen yang sangat dibutuhkan oleh N untuk menjalankan tugas ditempat yang baru, merupakan salah satu bentuk tindakan yang tidak manusiawi, dan tak menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Pasalnya, jika SK penugasan itu tidak dilaksanakan, maka klienya akan dirugikan karena berkaitan dengan masa depannya.
Surat somasi yang juga dikantongi media ini mencantumkan, perbuatan yang dilakukan oleh para oknum di Lapas Perempuan Kelas III Ambon merupakan tindakan tidak manusiawi, dan diduga ada tindakan intimidasi, pemaksaan dan menekan terhadap pegawai N, untuk membuat surat pernyataan pengembalian modal usaha senilai Rp 70 juta.
Padahal, persoalan pengembalian modal usaha puluhan juta rupiah tersebut adalah masalah pribadi, tidak ada kaitan dengan kedinasan.
Bahkan bentuk intimidasi yang diterima tidak main-main, melibatkan orang penting di Lapas Perempuan kelas III Ambon, dan Kanwil Kemenhukam Maluku.
“Tekanan untuk membuat surat pernyataan adalah hal yang tidak dibenarkan. Apalagi hal itu dilakukan oleh para oknum Lapas Perempuan Kelas III Ambon dan Kementerian Hukum dan Ham Maluku,” kata Parera.
Parera membeberkan, kliennya sudah memiliki itikad baik untuk mengembalikan sisa uang sebesar Rp70 juta tersebut, namun ada penyangkalan, bahkan kuat dugaan ada upaya untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaan.
“Itikad baik klien saya adalah telah melakukan pendekatan persuasif dengan menunjukan pembayaran transfer rekening koran Bank BRI, BCA. Namun hal itu diabaikan seakan-akan menuduh klien saya itu telah membohongi, memalsukan bukti rekening koran.” ungkap Parera.
Dia juga menerangkan pada Jumat 14 Juni 2024, telah diadakan klarifikasi diruang Kalapas Kelas III Ambon, dihadiri Eko Herdianto yang adalah Kepala Bagian Umum Kanwil Kemenhukam Maluku, Wilson Muskitta, Gerry Mailowa, dan Perempuan kelas III Ambon Fifi Firda.
Dalam pertemuan tersebut, kliennya menyampaikan bukti pembayaran dengan menunjukan rekening koran asli yang dikeluarkan oleh BRI, BCA, BNI. Namun bukti bank tersebut dibantah keabsahannya, sehingga N di paksa untuk membuat surat pernyataan dan ditanda tangani serta disaksikan oleh Kalapas.
“Jadi untuk mengurus masalah pribadi Kabag Umum Kanwil Kemenhukam hadir dan menyaksikan. Bahkan diduga ada dikeluarkan ancaman, bahwa jika klien saya tidak membayar maka surat penghadapan tidak dikeluarkan. Inikan hal yang menurut saya tidak elok,” tegasnya.
Tindakan Kalapas dan Kabag Umum Kemenhukam Maluku ini dinilai Parera,sudah berdampak merugikan kliennya. “Saya merasa klien saya di zolimi, sebab Kalapas dan Kabag Umum Kemenhukam telah mencampuri urusan pribadi klien saya. Saya menduga ada upaya untuk mencari faedah dari kondisi yang ada,” tebak Parera. Dia juga agar sebagai pimpinan tertinggi, Kalapas harus bersikap professional, tidak arogan dan harus cermat menilai keadilan yang sebenarnya.
“Jangan karena ingin membela sahabat tidak netral. Apa yang menjadi hak klien saya dapat diselesaikan, sedangkan soal urusan pribadi tak perlu dicampuri. Jangan mempersulit, jangan main main dengan masa depan orang, saya minta berikan surat penghadapan. Jika somasi ini tidak maka akan ada upaya hukum lanjut,” tegasnya.
Tindakan ini juga termasuk dalam perbuatan melawan hukum (Onrehctmatige Daad) yang dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata.
“Saya minta agar apa yang menjadi hak klien saya diberikan, jangan sibuk dengan urusan pribadi, ” pungkasnya. (TIM/YANNY)